Jumat, 17 Oktober 2014

pebangunan daerah nkri



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Unsur lain dari Demokrasi adalah adanya pembagian kekuasaan dan kewenangan pemerintahan. Tuntutan pengelolaan pemerintah daerah yang mandiri dengan semangat Otonomi Daerah ( OTODA ) semakin marak , namun demikian kebijakan OTODA banyak disalahartikan, seperti kebebasan mengelola sumber daya daerah yang cendrung melahirkan pemerintahan daerah yang tidak profesional dan tidak terkontrol.
Dengan mempelajari bab ini yakni “ Pebangunan Daerah Dalam Kerangka NKRI ” diharapkan kita sebagai komponen dari pemerintahan bisa tahu apa, dan bagiamana bentuk dari otonomi daerah yang sebenarnya, sehingga kita bisa menilai dan memberi kritik serta pengawasan atas pelaksanaan OTODA yang mungkin menyalahi pada tujuan utamanya .
B. Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dalam makalah ini akan mengulas hal-hal mengenai “ Pebangunan Daerah Dalam Kerangka NKRI“ adapun rumusannya adalah sebagi berikut:
1. Apakah Hakikat Otonomi Daerah
2. Pembagian kewenangan antara pemerintah daerah dan pemerintrah pusat
3. Keterkaitan antara otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah
4. Bagimana pelaksanaan Otonomi Daerah dalam NKRI














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakikat Otonomi daerah
1.      Pengertian Otonomi Daerah
      Otonomi Daerah sering disamakan dengan kata Desentralisasi karena biarpun secara teori terpisah namun dalam praktiknya keduanya sukar dipisahkan. Desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara, sedang Otonomi Daerah menyangkut hak yang mengikuti Pembagian Wewenang ( desentralisasi ) tersebut. Perserikatan Bangsa – bangsa mendefinisikan Desentralisasi adalah Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat yang berada di ibukota, melalui cara Dekonsentrasi (misalnya pendelegasian kepada pejabat dibawahnya maupun pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan daerah.  Sedang Otonomi Daerah yang merupan salah satu wujud desentralisasi, memiliki arti sempit Otonomi = Mandiri , sedang dalam arti luas Otonomi Daerah adalah kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan keputusan mngenai kepentingan daerahnya sendiri..
Visi dari Otonomi Daerah
Visi Otonomi daerah di rumuskan dalam Tiga ruang lingkup ;
1.      Politik ; otonomi daerah harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang di pilih secara Demokratis.
2.      Ekonomi ; otonomi daerah harus bisa menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional dan daerah. Serta mendorong pemrintah daerah untuk mengembangkan kebijakan lokal untuk memberdayakan poytensi ekonomi di daerahnya.
3.      Sosial budaya ; otonomi daerah di arahkan pada memelihara dan mengembangkan nilai, tradisi, karya seni, karya cipta, bahasa yang kondusif dan dapat mendorong masyarakat untuk merspon positif dinamika sosial yang ada disekitar dan kehidupan global.



B.     Pembagian kewenangan pemerintah daerah & pemerintah pusat
1.      Otonomi Daerah dan pembangunan daerah Otonomi Daerah sebagai komitmen dan kebijakan politik nasional merupakan langkah strategi yang diharapkan akan mempercepat pertumbuhan dan pembangunan Daerah, disamping menciptakan keseimbangan pembangunan antar daerah di Indonesia. Pembangunan didaerah, baru akan berjalan kalau sejumlah prasarat dapat dipenuhi, terutama oleh para penyelenggara pemerintahan didaerah, yaitu pihak legislatif (DPRD, Propinsi, Kabupaten dan Kota) dan eksekutif didaerah (Gubernur, Bupati dan Walikota). Prakondisi yang diharapkan dari Pemerintahan Daerah:
a.                Fasilitas (memfasilitasi bentuk kegiatan didaerah dalam bidang ekonomi)
b.               Pemerintahan daerah harus kreatif
c.                Politik lokal yang stabil
d.               Pemerintahan Daerah harus menjamin kesinambungan berusaha
e.                Pemerintahan Daerah harus komunikatif dengan LSM, terutama dalam                                     bidang perburuhan dan lingkungan hidup.
















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Setelah mempelajari uraian tentang pelaksanaan otonomi da erah di atas maka kami dapat menyimpulkan :
1.                          1.Hakikat Otonomi Daerah adalah kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
2.                          Pembagian kewenangan antara pemerintah daerah dan pemerintrah pusat harus berlandaskan pada pemikiran bahwa Otonomi Daerah sebagai komitmen dan kebijakan politik nasional merupakan langkah strategi yang diharapkan akan mempercepat pertumbuhan dan pembangunan Daerah, disamping menciptakan keseimbangan pembangunan antar daerah di Indonesia.
3.                          Keterkaitan antara otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah. Adalah Bersifat timbal balik, artinya apabila prakondisi Otonomi daerah sebagai wujud demokrasinya buruk maka pemilihan langsung kepala daerah kurang efektif dalam peningkatan demokrasi. persyaratan. Efektifitas PILKADA ditentukan oleh faktor-faktor: kualitas pemilih, kualitas dewan, sistem rekrutmen dewan, fungsi partai, kebebasan dan konsistensi pers dan pemberdayaan masyarakat madani
4.                          pelaksanaan Otonomi Daerah dalam NKRI, yang berprinsip bahwa pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan seluas-luasnya” tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab” harus benar-benar di laksanakan dan di wujudkan tidak berhenti pada teori saja karena dengan demikian tujuan negara untuk memakmurkan seluruh rakyat bisa tercapi.








DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Rozali.2001. Pelaksanaan Otonomi Luas. Jakarta:Rajawali.
Croissant, Aurel.2003. “Pendahuluam” Politik Pemilu di Asia Tenggara dan Asia Timur,Jakarta : pensil 324 dan Fredrich Ebert Stiftung, oktober.
Dwiyanto,Agus.2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta : JICA-UGM.
Koswara,E.2001.Otonomi Daerahuntuk demokrasidan kemandirian rakyat, Jakarta:Yayasan Fariba.
Muluk,M.R.Khairul. 2005.Desentralisasi Dan Pemerintahan Daerah, Malang:Bayu Media.
UU No. 22 tahun 1999 tentang penyelenggaraa pemerintah daerah.
UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintaha pusat dan pemerintah daerah.
Yudhoyono, Bambang.2001,Otonomi Daerah. Jakarta: Sinar Harapan.



Kamis, 16 Oktober 2014

makalah mata kuiah ulumul hadits shahih, hasan, dhaif



hadits shahih, hasan, dhaif

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Melihat realita sekarang banyak umat islam yang berselisih mengenai paham-paham fiqih yang implikasinya terhadap pengamalan ibadah yang berbeda-beda seperti adanya perbedaan antara orang yang melafadzkan niat dan yang tidak melafadzkan niat bahkan yang paling parah adalah antar umat islam saling mengkafirkan satu sama lain karena berawal dari pemahamannya yang keluar dari al-Qur’an dan Hadits. Maka pertanyaannya adalah mengapa hal ini terjadi?. Saya katakan ini terjadi karena umat islam belum sepakat mengenai hadits dhoif itu tidak boleh dipakai dalam menetapkan suatu hukum ibadah, sebab sadari ataupun tidak disadari banyak sekali hadits-hadits dhoif yang masih dipakai rujukan (sumber hukum) oleh sebagian umat islam sehingga kadang kala mengesampingkan hadits-hadits yang shahih karena hadits dhoif lebih cocok dengan hatinya ketimbang hadits shohih.
            Ternyata masalah bukan itu saja, ada sebagian orang-orang juga mengkritisi hadits-hadits shohih seperti yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari seperti didalam hadits bukhari banyak sekali hadits-hadits mu’allaq[1][1] salah satunya adalah hadits pada bab mengenai “paha” yaitu;
قال أبوموسى : "غَظَّى النَّبِيُّ ص.م. رُكْبَتَيْهِ حِيْنَ دَخَلَ عُثْمَانُ"
“Abu musa telah berkata : nabi saw menutup kedua lututnya ketika usman datang”(HR.Bukhari).
maka pertanyaannya apakah benar hadits itu mu’allaq , ternyata dibantah oleh para ahli hadits walaupun imam bukhari membuang semua sanadnya kecuali sahabat yaitu abu musa al asy’ari karena khusus untuk imam bukhari dan muslim tetap shohih walaupun sebagian sanad dihapus sebab rawi-rawi yang terdapat dibukhari semua tsiqat (terpercaya) sesuai dengan penelitian rawai-rawi yang dipakai imam bukhari oleh para ahli hadits dan semua sepakat bahwa rawi-rawinya adalah tsiqot (terpercaya).[2][2] Dan banyak lagi yang orang-orang kritisi pada hadits-hadits yang diriwayat oleh bukhari akan tetapi semuanya itu terbantahkan oleh para-para ahli hadits yang menjaga keshahihan yang diriwayatkan imam bukhari.
            Sehingga sangat kecil kemungkinan apabila semua memegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits shahih akan tersesat sebagaimana telah diriwayatkan dalam sebuah hadits;
عَنْ كَثِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ ر قَالَ,قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم: تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.-رواه مالك,المطأ:۸۹۹-
“dari katsir bin abdillah dari ayahnya, dari kakeknya, r.a ia berkata; rasulullah Saw bersabda; aku tinggalkan untuk kalian 2 perkara yang kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepadanya yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah” ( HR. Malik, al-muwattha’:899)[3][3]
Dengan hadits ditegaskan bahwa umat islam tidak akan pernah tersesat selam memegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah (As-Sunnah) selamanya.
            Dengan latar belakang ini, penulis mencoba membuat sebuah tulisan yang sangat ringkas mengenai hadits shahih dan dhoif serta penyebabnya dengan bertujuan mudah-mudahn dapat memberikan sebuah penjelasan serta kejelasan mengenai derajat shahih dan dhoif.
B. Perumusan Masalah
            Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut;
1. Apa pengertian Shahih dan Dhoif?
2. Apa syarat-syarat hadits Shahih?
3. Apa penyebab hadits dhoif Serta macam-macamnya?
4. Bagaimana tingkatan-tingkatan shahih?
PEMBAHASAN
A. Pengertian IlmuHadits
            Hadits merupakan kalimat musytaq dari kalimat hadatsa secara bahasa yaitu baru, terjadi[4][4], sedangkan secara istilah adalah
مَا أُضِيْفَ إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةِ خِلْقِيْ أَوْ خُلُقِيْ
apa yang disandarkan kepada nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan shifat tabiat dan akhlaqnya.[5][5]
            Didalam pembahasan ilmu mustholahul hadits ada satu pembahasan mengenai khobar (hadits) terdapat yang maqbul dan mardud. Khobar maqbul adalah kebenaran orang yang menyampaikan khobarnya itu lebih kuat/terpercaya (rajih) serta wajib dijadikan sebagai hujjah (dalil) dan mengamalkanya. Sedangkan khobar mardud adalah kebenaran orang yang menyampaikan khobarnya itu tidak kuat/terpercaya serta tidak boleh dijadikan sebagai hujjah (dalil).[6][6] Adapu khobar maqbul ditinjau dari perbedaan derajat dibagi atas dua yaitu shahih dan hasan.
B. Pembagian Hadits Sesuai dengan Perbedaan Derajat
1. Hadits Shahih
            Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha – yashihhu – suhhan wa sihhatan artiya sembuh, sehat, selamat dari cacat, benar.[7][7] Sedangkan secara istilah yaitu :
مَا اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ العَدْلِ الضَابِطِ عَنْ مِثْلِهِ إِلىَ مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ.
" Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit ( memiliki hafalan yang kuat) dari awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz dan tidak pula cacat".[8][8]
Dalam definisi tersebut dikatakan bahwa hadits dikataka shahih jika memiliki syarat-syarat[9][9] yaitu sebagai berikut:
1) Sanadnya bersambung, maksudya adalah setiap rawi dari suatu riwayat hadits berajar atau bertemu langsung dari mulai awal sanad sampai akhir.
2) Rawinya adil, maksudnya adalah setiap rawi dari suatu riwayat hadits disifati sebagai muslim, baligh, berakal (sehat), bukan orang fasiq dan bukan pula Makhrumul Muruah.
3) Rawinya dhobit, maksudnya adalah setiap rawi dari suatu periwayatan hadits itu memiliki hafalan yang kuat, baik dalam hafalan berupa penalaran dan tulisan.
4) Tidak Syadz, maksudnya adalah suatu hadits yang tsiqat menyelisihi hadits yang lebih tsiqat dariya.
5) Tidak ada 'Illat (cacat), maksudnya adalah suatu hadits yang samar yang meyebutkan cacat terhadap keshahihan hadits tersebut bersamaan secara dzohir itu bebas dari cacat.
Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;
حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ "(رواه البخاري)
" Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
Analisis terhadap hadits tersebut:
1) Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut mendengar dari gurunya.
2) Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi hadits tersebut menurut para ulama aj-jarhu wa ta'dil sebagai berikut :
a) Abdullah bin yusuf                     = tsiqat muttaqin.
b) Malik bin Annas                        = imam hafidz
c) Ibnu Syihab Aj-Juhri     = Ahli fiqih dan Hafidz
d) Muhammad bin Jubair  = Tsiqat.
e) Jubair bin muth'imi                    = Shahabat.
3) Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih kuat serta tidak cacat.
Hadits Shahih pula terdapat dua bagian:
a. Hadits Shahih Lidzatihi
Hadits shahih lidzatihi adalah hadits yang dimana memiliki semua syarat hadits shahih sebagaimana yang telah kita bahas diatas.
b. Hadits Shahih Lighoirihi
Hadits Shahih Lighoirihi adalah Hadits Hasan Lidzatihi[10][10] yang diriwayatkan dari jalur lain yang sama atau yang lebih kuat darinya, contohnya hadits yang derajatnya shahih lighoirihi sebagai berikut;
مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ أَبِيْ سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص م قاَلَ : لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتَهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ "
“ Dari Muhammad bin amer dari abi salamah dari abu hurairah sesungguhnya rasulullah saw bersabda: Kalaulah tidak memberatkan atas umatku pasti akanku perintahkan kepada mereka bersiwak ketika setiap shalat”(HR. Tirmidzi, Kitab Thaharah).
Berkata Ibnu Shalah[11][11] : Rawi yang bernama Muhammad bin amer bin alqomah termasuk dari kalangan termasyhur (terkenal) karena kebenaran dan penjagaannya, akan tetapi bukan termasuk dari “ahli itqan” sehingga sebagaian para ulama hadits mendhaifkannya dari aspek jelek hafalannya, dan sebagiannya lagi mentsiqatkannya karena kebenaran dan kemulyaannya, maka hadits ini hasan. Maka ketika digabungkan dari berbagai hadits yang diriwayatkan dari jalur lain hadits ini menjadi shahih lighoirihi.
2. Hadits Hasan
            Hasan secara bahasa adalah sifat yang menyerupai dari kalimat “al-husna” artinya indah, cantik. Akan tetapi secara istilah yang dimaksud dengan Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Atsqalani yaitu:
مَا اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدَلِ الَّذِيْ خَفَّ ضَبْطُهُ عَنْ مِثْلِهِ إِلَى مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ ".
Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, hafalannya yang kurang dari awal sampai akhir sanad dengan tidak syad dan tidak pula cacat”[12][12]
Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:
حدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِي عَنْ أَبِيْ عِمْرَانِ الْجَوْنِي عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوْسَي الْأَشْعَرِيْ قَالَ : سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ العَدُوِّ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م : إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ ..... الحديث "
“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu ja’far bin sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang…”( HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).
Derajat hadits tersebut adalah hasan, karena semua perawi dalam hadits tersebut tsiqoh kecuali ja’far bin sulaiman adh-dhuba’i.
Hadits Shahih pula terdapat dua bagian:
a. Hadits Hasan Lidzatihi
Hadits Hasan lidzatihi adalah hadits hasan itu sendiri sebagaimana yang telah kita bahas mengenai hadits hasan.
b. Hadits Hasan Lighoirihi
Hadits Hasan Lighoirihi adalah Hadits dhoif yang mempunyai jalur periwayatan yang banyak akan tetapi sebab kedhoifannya itu bukan karena fasiq ataupun pembohong, contohnya hadits yang derajatnya hasan lighoirihi sebagai berikut;
مَا رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَحَسَّنَهُ مِنْ طَرِيْقِ شُعْبَةَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيْعَةَ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ اِمْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةَ تَزَوجت على نَعْلَيْنِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م : " أَرَضِيْتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟ قاَلَتْ : نَعَمْ ، فَأَجَازَ
Apa yang diriwayatkan oleh imam at-tirmidzi dan ia menghasankan hadits dari jalur syu’bah dari ‘ashim bin ubaidillah dari abdillah bin amir bin robi’ah dari ayahnya sesungguhnya seorang perempuan dari keturunan “Pajarah" menikah dengan mahar sepasang sandal, lalu rasulullah saw bersabda: “Apakah kamu ridho dengan jiwa dan hartamu dengan (mahar ) sepasang sandal?! Maka ia berkata: ya, maka aku mengijinkannya”
Maka rawi yang bernama ‘ashim bin ubaidillah itu dhoif karena jelek hafalannya, kemudian imam at-tirmidzi menghasankan hadits ini karena terdapat hadits dari selain jalur periwayatan ini.[13][13]
3. Hadits Dhoif
            Dhoif secara bahasa adalah kebalikan dari kuat yaitu lemah, sedangkan secara istilah yaitu;
مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَةُ الْحَسَنِ، بِفَقْدِ شَرْطِ مِنْ شُرُوْطِهِ
“ Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercangkup (terpenuhi) dengan cara hilangnya satu syarat dari syarat-syarat hadits hasan”[14][14]
Contoh hadits dhoif adalah sebagai berikut ;
مَاأَخْرَجَهُ التِّرْمِيْذِيْ مِنْ طَرِيْقِ "حَكِيْمِ الأَثْرَمِ"عَنْ أَبِي تَمِيْمَةِ الهُجَيْمِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ : " مَنْ أَتَي حَائِضاً أَوْ اِمْرَأةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهُنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمِّدٍ "
Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi tamimah al-Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad saw”
Berkata Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini : “ kami tidak mengetahui hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim al-atsrami, kemudian hadits ini didhoifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena didalam sanadnya terdapat hakim al-atsrami sebab didhaifkan pula oleh para ulama hadits”
Berkarta ibnu hajar mengenai hadits ini didalam kitab “Taqribut Tahdzib” : Hakim al-Atsromi pada rawi tersebut adalah seorang yang bermuka dua.
            Adapun penyebab kedhoifannya karena beberapa hal:
1. Sebab Terputusnya sanad, akan terputus sanad pun terbagi atas 2 bagian yang perama adalah terputus secara dzhohir (nyata) :
a) Mu’allaq adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad baik satu rawi atau lebih secara berurutan.
b) Mursal adalah apa yang terputus dari akhir sanadnya yaitu orang sesudah tabi’in (Sahabat).
c) Mughdhal adalah apa yang terputus dari sanadnya 2 atau lebih secara berurutan.
d) Munqoti’ adalah apa yang sanadnya tidak tersambung.
Sedangkan yang kedua terputus secara khofi (tersembunyi) yaitu:
a) Mudallas adalah menyembunyikan cacat (‘aib) pada sanadnya dan memperbagus untuk dzohir haditsnya.
b) Mursal Khofi adalah meriwayatkan dari orang yang ia bertemu atau sezaman dengannya apa yang ia tidak pernah dengar dengan lafadz yang memungkinkan ia dengar dan yang lainnya seperti qaala.
2. Sebab penyakit pada rawi
Penyakit pada rawi pun terbagi atas 2 yaitu penyakit dalam ‘adalah dan dhobit (hafalannya), adapun yang pertama penyakit pada ‘adalah (ketaqwaan) yaitu:
a) Pendusta
b) Tertuduh dusta
c) Fasiq
d) Bid’ah
e) Kebodohan
Adapun penyakit pada dhobit (hafalan ) yaitu :
a) Jelek hafalannya
b) Lalai
c) Banyak
d) Menyelisihi yang tsiqat
e) Ucapan yang menipu
C. Sanad-Sanad Shahih dan Dhaif
1. Sanad-sanad shahih[15][15]
a) Aj-Juhri dari salim dari ayahnya (umar bin khatab)
b) Ibnu Sirin dari abidah dari ‘ali bin abi thalib
c) Al-A’masy dari Ibrahim dari alqomah dari abdillah bin mas’ud.
d) Aj-Juhri dari ‘ali bin Husain dari ayahnya dari ali bin abi thalib
e) Malik dari nafi’ dari ibnu umar
2. Sanad-sanad dhoif[16][16]
a) Sanad yang dinisbatkan kepada Abu bakar As-Shiddiq yaitu Ibnu musa ad-daqiqi dari farqid as-subkhi dari marrah ath-thaibi dari abu bakar
b) Sanad orang-orang syam yaitu Muhammad bin qaisyin al-mashlubi dari ubaidillah bin jahri dari ‘ali bin yazid dari qasim dari abi umamata.
c) Sanad yang dinisbatkan kepada ibnu ‘abbas yaitu assudi ash-shaghiri Muhammad bin marwan dari kalbi dari abi shalih dari ibnu abbas. Menurut ibnu hajar bahwa ini adalah silsilah dusta.
D. Tingkatan-tingkatan Shahih
            Muncul sebuah persoalan siapakah diantara para semua mukharrij hadits seperti bukhari, muslim, ahmad, tirmidzi dan yang lainnya yang dikatakan paling shahih? Maka dalam hal ini ada beberapa tingkatan derajat shahih[17][17] yaitu :
1. Muttafaq ‘Alaih
2. Bukhari
3. Muslim
4. Periwayatan atas syarat (rekomendasi) dari bukhari dan muslim
5. Periwayatan atas syarat (rekomendasi) dari bukhari
6. Periwayatan atas syarat (rekomendasi) dari muslim
7. Hadits shahih yang bukan atas pandangan bukhari dan muslim seperti ibnu khuzaimah, ibnu hibban, dan para mukharrij lainnya.
“Wallahu ‘Alam Bish-Shawab”
PENUTUP
Kesimpulan
            Derajat suatu hadits itu memiliki beberapa kemungkinan, bisa saja kita katakan shahih, hasan, ataupun dhaif itu tergantung kepada 2 hal yaitu keadaan sanadnya dan keadaan perawinya. Akan tetapi oleh para ulama telah diberikan kemudahan bagi para peneliti hadits untuk mengetahui derajat hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits seperti yang paling terkenal adalah kitab “tahzibul kamal fi asmaail rijal” yang menerangkan tentang keadaan perawinya, apakah dia itu pendusta, bid’ah, fasiq dan yang lainnya. Akan tetapi semua ulama telah sepakat tentang keshahihan hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim sehingga kita tidak perlu lagi untuk meneliti atas kedaan sanad dan perawinya akan tetapi yang mesti ingat hadits-hadits selain dari imam bukhari dan imam muslim mesti kita telaah kembali akan keshahihannya. Wallahu ‘alam bish-shawab.
DAFTAR PUSTAKA
1. A. Zakaria,(2007), Al-Hidayah jilid 1,Garut: Ibnu Azka Press.
2. Atabik Ali, dkk, (2003),Kamus al-Ashri Arab-Indonesia,Yogyakarta: Multi Karya Grafika.
3. A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia,Yogyakarta: Penerbit Pustaka Progressif. Edisi Kedua.
4. Dr. Muhammad Thahan(t.t), taisiru fi ulumil al-haditsi,Beirut: Darul Fiqr.
5. Dr. Nuruddin ‘atr,(1997), Manhajul an-Naqdi Fi Ulumil Hadit,Beirut :Darul-fiqr





[1][1]( Muallaq merupakan salah satu penyebab dhoif. Muallaq adalah apa yang dibuang dari permulaan sanad baik satu rawi atau lebih secara berurutan. Dr. Muh.Thohan, Taisiru Mustholahil Hadits,Beirut:Darul Fiqr, Hal:62
[2][2] Dr. Muh.Thohan, Taisiru Mustholahil Hadits,Beirut:Darul Fiqr, Hal:62
[3][3] A.Zakaria,(2007), Al-Hidayah (Jilid 1),Garut : Ibnu Azka Press. Hal: 9-10
[4][4] A.W.Munawir, Kamus al-munawir arab-indonesia,Yogyakarta:Pustaka Progresif.hal:241.
[5][5] Dr. Nuruddin ‘atr,(1997), Manhajul an-Naqdi Fi Ulumil Hadit,Beirut :Darul-fiqr. Hal26
[6][6]D r.Muhammad Thohan, Taisiru fi ulumil hadits,beirut:darul Fiqr. Hal:27.
[7][7] A.W.Munawir,Op.Cit.hal:764
[8][8] D r.Muhammad Thohan, Op.Cit,Hal: 30
[9][9] Ibid. Hal:30
[10][10] Hadits Hasan Lidzatihi adalah hadits yang mempunyai semua syarat hadits shahih akan tetapi memiliki hafalan yang kurang.
[11][11] Dr. Muhammad Thahan, Op.Cit.Hal:42
[12][12] Ibid. Hal:38
[13][13] Ibid. Hal 43
[14][14] Ibid. Hal: 52
[15][15] Ibid. Hal:32
[16][16] Ibid. Hal:53
[17][17] Ibid. Hal:37