hadits
shahih, hasan, dhaif
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Melihat realita sekarang banyak umat
islam yang berselisih mengenai paham-paham fiqih yang implikasinya terhadap
pengamalan ibadah yang berbeda-beda seperti adanya perbedaan antara orang yang
melafadzkan niat dan yang tidak melafadzkan niat bahkan yang paling parah
adalah antar umat islam saling mengkafirkan satu sama lain karena berawal dari
pemahamannya yang keluar dari al-Qur’an dan Hadits. Maka pertanyaannya adalah mengapa
hal ini terjadi?. Saya katakan ini terjadi karena umat islam belum sepakat
mengenai hadits dhoif itu tidak boleh dipakai dalam menetapkan suatu hukum
ibadah, sebab sadari ataupun tidak disadari banyak sekali hadits-hadits dhoif
yang masih dipakai rujukan (sumber hukum) oleh sebagian umat islam sehingga
kadang kala mengesampingkan hadits-hadits yang shahih karena hadits dhoif lebih
cocok dengan hatinya ketimbang hadits shohih.
Ternyata masalah bukan itu saja, ada
sebagian orang-orang juga mengkritisi hadits-hadits shohih seperti yang
diriwayatkan oleh imam al-Bukhari seperti didalam hadits bukhari banyak sekali
hadits-hadits mu’allaq[1][1] salah satunya adalah hadits pada
bab mengenai “paha” yaitu;
قال أبوموسى : "غَظَّى
النَّبِيُّ ص.م. رُكْبَتَيْهِ حِيْنَ دَخَلَ عُثْمَانُ"
“Abu
musa telah berkata : nabi saw menutup kedua lututnya ketika usman
datang”(HR.Bukhari).
maka
pertanyaannya apakah benar hadits itu mu’allaq , ternyata dibantah oleh para
ahli hadits walaupun imam bukhari membuang semua sanadnya kecuali sahabat yaitu
abu musa al asy’ari karena khusus untuk imam bukhari dan muslim tetap shohih
walaupun sebagian sanad dihapus sebab rawi-rawi yang terdapat dibukhari semua
tsiqat (terpercaya) sesuai dengan penelitian rawai-rawi yang dipakai imam
bukhari oleh para ahli hadits dan semua sepakat bahwa rawi-rawinya adalah
tsiqot (terpercaya).[2][2] Dan banyak lagi yang orang-orang
kritisi pada hadits-hadits yang diriwayat oleh bukhari akan tetapi semuanya itu
terbantahkan oleh para-para ahli hadits yang menjaga keshahihan yang
diriwayatkan imam bukhari.
Sehingga sangat kecil kemungkinan
apabila semua memegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits shahih akan tersesat
sebagaimana telah diriwayatkan dalam sebuah hadits;
عَنْ كَثِيْرِ بْنِ
عَبْدِ اللهِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ ر قَالَ,قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صلعم: تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا
كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.-رواه مالك,المطأ:۸۹۹-
“dari
katsir bin abdillah dari ayahnya, dari kakeknya, r.a ia berkata; rasulullah Saw
bersabda; aku tinggalkan untuk kalian 2 perkara yang kalian tidak akan sesat
selama berpegang teguh kepadanya yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah” ( HR. Malik,
al-muwattha’:899)[3][3]
Dengan
hadits ditegaskan bahwa umat islam tidak akan pernah tersesat selam memegang
teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah (As-Sunnah) selamanya.
Dengan latar belakang ini, penulis
mencoba membuat sebuah tulisan yang sangat ringkas mengenai hadits shahih dan
dhoif serta penyebabnya dengan bertujuan mudah-mudahn dapat memberikan sebuah
penjelasan serta kejelasan mengenai derajat shahih dan dhoif.
B. Perumusan Masalah
Rumusan
masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut;
1. Apa pengertian Shahih dan Dhoif?
2. Apa syarat-syarat hadits Shahih?
3. Apa penyebab hadits dhoif Serta macam-macamnya?
4. Bagaimana tingkatan-tingkatan shahih?
PEMBAHASAN
A. Pengertian IlmuHadits
Hadits merupakan kalimat musytaq dari kalimat hadatsa
secara bahasa yaitu baru, terjadi[4][4], sedangkan secara istilah adalah
مَا أُضِيْفَ إِلىَ
النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ
تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةِ خِلْقِيْ أَوْ خُلُقِيْ
apa
yang disandarkan kepada nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan
dan shifat tabiat dan akhlaqnya.[5][5]
Didalam pembahasan ilmu mustholahul hadits ada satu
pembahasan mengenai khobar (hadits) terdapat yang maqbul dan mardud.
Khobar maqbul adalah kebenaran orang yang menyampaikan khobarnya itu lebih
kuat/terpercaya (rajih) serta wajib dijadikan sebagai hujjah (dalil) dan
mengamalkanya. Sedangkan khobar mardud adalah kebenaran orang yang
menyampaikan khobarnya itu tidak kuat/terpercaya serta tidak boleh dijadikan
sebagai hujjah (dalil).[6][6] Adapu khobar maqbul ditinjau dari
perbedaan derajat dibagi atas dua yaitu shahih dan hasan.
B.
Pembagian Hadits Sesuai dengan Perbedaan Derajat
1.
Hadits Shahih
Shahih merupakan kalimat musytaq
dari kalimat shahha – yashihhu – suhhan wa sihhatan artiya sembuh,
sehat, selamat dari cacat, benar.[7][7] Sedangkan secara istilah yaitu :
مَا اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ العَدْلِ الضَابِطِ عَنْ مِثْلِهِ
إِلىَ مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ.
"
Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit ( memiliki
hafalan yang kuat) dari awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz dan tidak
pula cacat".[8][8]
Dalam
definisi tersebut dikatakan bahwa hadits dikataka shahih jika memiliki syarat-syarat[9][9] yaitu sebagai berikut:
1)
Sanadnya bersambung, maksudya adalah
setiap rawi dari suatu riwayat hadits berajar atau bertemu langsung dari mulai
awal sanad sampai akhir.
2)
Rawinya adil, maksudnya adalah
setiap rawi dari suatu riwayat hadits disifati sebagai muslim, baligh, berakal
(sehat), bukan orang fasiq dan bukan pula Makhrumul Muruah.
3)
Rawinya dhobit, maksudnya adalah
setiap rawi dari suatu periwayatan hadits itu memiliki hafalan yang kuat, baik
dalam hafalan berupa penalaran dan tulisan.
4)
Tidak Syadz, maksudnya adalah suatu
hadits yang tsiqat menyelisihi hadits yang lebih tsiqat dariya.
5)
Tidak ada 'Illat (cacat),
maksudnya adalah suatu hadits yang samar yang meyebutkan cacat terhadap
keshahihan hadits tersebut bersamaan secara dzohir itu bebas dari cacat.
Adapun
contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;
حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ
بْنُ يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَرَأَ
فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ "(رواه البخاري)
"
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah
mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin
math'ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca
dalam shalat maghrib surat at-thur" (HR. Bukhari, Kitab Adzan).
Analisis
terhadap hadits tersebut:
1)
Sanadnya bersambung karena semua
rawi dari hadits tersebut mendengar dari gurunya.
2)
Semua rawi pada hadits tersebut
dhobit, adapun sifat-sifat para rawi hadits tersebut menurut para ulama
aj-jarhu wa ta'dil sebagai berikut :
a) Abdullah bin
yusuf = tsiqat muttaqin.
b) Malik
bin Annas = imam
hafidz
c) Ibnu Syihab
Aj-Juhri = Ahli fiqih dan Hafidz
d) Muhammad bin
Jubair = Tsiqat.
e) Jubair
bin muth'imi =
Shahabat.
3)
Tidak syadz karena tidak ada
pertentangan dengan hadits yang lebih kuat serta tidak cacat.
Hadits
Shahih pula terdapat dua bagian:
a.
Hadits Shahih Lidzatihi
Hadits
shahih lidzatihi adalah hadits yang dimana memiliki semua syarat hadits shahih
sebagaimana yang telah kita bahas diatas.
b.
Hadits Shahih Lighoirihi
Hadits
Shahih Lighoirihi adalah Hadits Hasan Lidzatihi[10][10] yang diriwayatkan dari jalur lain
yang sama atau yang lebih kuat darinya, contohnya hadits yang derajatnya shahih
lighoirihi sebagai berikut;
مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ أَبِيْ سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص م قاَلَ : لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ
لَأَمَرْتَهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ "
“
Dari Muhammad bin amer dari abi salamah dari abu hurairah sesungguhnya
rasulullah saw bersabda: Kalaulah tidak memberatkan atas umatku pasti akanku
perintahkan kepada mereka bersiwak ketika setiap shalat”(HR. Tirmidzi, Kitab
Thaharah).
Berkata
Ibnu Shalah[11][11] : Rawi yang bernama Muhammad bin
amer bin alqomah termasuk dari kalangan termasyhur (terkenal) karena kebenaran
dan penjagaannya, akan tetapi bukan termasuk dari “ahli itqan” sehingga
sebagaian para ulama hadits mendhaifkannya dari aspek jelek hafalannya, dan
sebagiannya lagi mentsiqatkannya karena kebenaran dan kemulyaannya, maka hadits
ini hasan. Maka ketika digabungkan dari berbagai hadits yang diriwayatkan dari
jalur lain hadits ini menjadi shahih lighoirihi.
2.
Hadits Hasan
Hasan secara bahasa adalah sifat
yang menyerupai dari kalimat “al-husna” artinya indah, cantik. Akan tetapi
secara istilah yang dimaksud dengan Hadits Hasan menurut Ibnu Hajar
Al-Atsqalani yaitu:
مَا اِتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدَلِ الَّذِيْ خَفَّ ضَبْطُهُ
عَنْ مِثْلِهِ إِلَى مُنْتَهَاهُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ وَلاَ عِلَّةٍ ".
“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan
yang adil, hafalannya yang kurang dari awal sampai akhir sanad dengan tidak
syad dan tidak pula cacat”[12][12]
Contoh hadits hasan adalah sebagai berikut:
حدَّثَنَا قُتَيْبَةُ
حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِي عَنْ أَبِيْ عِمْرَانِ
الْجَوْنِي عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوْسَي الْأَشْعَرِيْ قَالَ : سَمِعْتُ
أَبِي بِحَضْرَةِ العَدُوِّ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م : إِنَّ
أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ ..... الحديث "
“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan
kepada kamu ja’far bin sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi
musa al-Asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika musuh datang :
Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan
pedang…”( HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).
Derajat hadits tersebut adalah hasan, karena semua perawi dalam
hadits tersebut tsiqoh kecuali ja’far bin sulaiman adh-dhuba’i.
Hadits
Shahih pula terdapat dua bagian:
a.
Hadits Hasan Lidzatihi
Hadits
Hasan lidzatihi adalah hadits hasan itu sendiri sebagaimana yang telah kita
bahas mengenai hadits hasan.
b.
Hadits Hasan Lighoirihi
Hadits
Hasan Lighoirihi adalah Hadits dhoif yang mempunyai jalur periwayatan yang
banyak akan tetapi sebab kedhoifannya itu bukan karena fasiq ataupun pembohong,
contohnya hadits yang derajatnya hasan lighoirihi sebagai berikut;
مَا رَوَاهُ التِّرْمِذِي
وَحَسَّنَهُ مِنْ طَرِيْقِ شُعْبَةَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ عَنْ
عَبْدِاللهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيْعَةَ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ اِمْرَأَةً مِنْ
بَنِي فَزَارَةَ تَزَوجت على نَعْلَيْنِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م : "
أَرَضِيْتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟ قاَلَتْ : نَعَمْ ، فَأَجَازَ
Apa
yang diriwayatkan oleh imam at-tirmidzi dan ia menghasankan hadits dari jalur
syu’bah dari ‘ashim bin ubaidillah dari abdillah bin amir bin robi’ah dari
ayahnya sesungguhnya seorang perempuan dari keturunan “Pajarah" menikah dengan mahar sepasang sandal, lalu rasulullah saw
bersabda: “Apakah kamu ridho dengan jiwa dan hartamu dengan (mahar ) sepasang
sandal?! Maka ia berkata: ya, maka aku mengijinkannya”
Maka
rawi yang bernama ‘ashim bin ubaidillah itu dhoif karena jelek hafalannya,
kemudian imam at-tirmidzi menghasankan hadits ini karena terdapat hadits dari
selain jalur periwayatan ini.[13][13]
3. Hadits Dhoif
Dhoif secara bahasa adalah kebalikan
dari kuat yaitu lemah, sedangkan secara istilah yaitu;
مَا لَمْ يَجْمَعْ
صِفَةُ الْحَسَنِ، بِفَقْدِ شَرْطِ مِنْ شُرُوْطِهِ
“
Apa yang sifat dari hadits hasan tidak tercangkup (terpenuhi) dengan cara
hilangnya satu syarat dari syarat-syarat hadits hasan”[14][14]
Contoh
hadits dhoif adalah sebagai berikut ;
مَاأَخْرَجَهُ
التِّرْمِيْذِيْ مِنْ طَرِيْقِ "حَكِيْمِ الأَثْرَمِ"عَنْ أَبِي
تَمِيْمَةِ الهُجَيْمِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص م قَالَ : "
مَنْ أَتَي حَائِضاً أَوْ اِمْرَأةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهُنَا فَقَدْ كَفَرَ
بِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمِّدٍ "
Apa
yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami “dari abi tamimah
al-Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang
menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini
maka sungguh ia telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi
Muhammad saw”
Berkata
Imam Tirmidzi setelah mengeluarkan (takhrij) hadits ini : “ kami tidak
mengetahui hadits ini kecuali hadits dari jalur hakim al-atsrami, kemudian
hadits ini didhoifkan oleh Muhammad dari segi sanad karena didalam sanadnya
terdapat hakim al-atsrami sebab didhaifkan pula oleh para ulama hadits”
Berkarta
ibnu hajar mengenai hadits ini didalam kitab “Taqribut Tahdzib” : Hakim
al-Atsromi pada rawi tersebut adalah seorang yang bermuka dua.
Adapun penyebab kedhoifannya karena
beberapa hal:
1.
Sebab Terputusnya sanad, akan
terputus sanad pun terbagi atas 2 bagian yang perama adalah terputus secara
dzhohir (nyata) :
a)
Mu’allaq adalah apa yang dibuang
dari permulaan sanad baik satu rawi atau lebih secara berurutan.
b)
Mursal adalah apa yang terputus dari
akhir sanadnya yaitu orang sesudah tabi’in (Sahabat).
c)
Mughdhal adalah apa yang terputus
dari sanadnya 2 atau lebih secara berurutan.
d)
Munqoti’ adalah apa yang sanadnya
tidak tersambung.
Sedangkan
yang kedua terputus secara khofi (tersembunyi) yaitu:
a)
Mudallas adalah menyembunyikan cacat
(‘aib) pada sanadnya dan memperbagus untuk dzohir haditsnya.
b)
Mursal Khofi adalah meriwayatkan
dari orang yang ia bertemu atau sezaman dengannya apa yang ia tidak pernah
dengar dengan lafadz yang memungkinkan ia dengar dan yang lainnya seperti qaala.
2.
Sebab penyakit pada rawi
Penyakit
pada rawi pun terbagi atas 2 yaitu penyakit dalam ‘adalah dan dhobit
(hafalannya), adapun yang pertama penyakit pada ‘adalah (ketaqwaan) yaitu:
a)
Pendusta
b)
Tertuduh dusta
c)
Fasiq
d)
Bid’ah
e)
Kebodohan
Adapun
penyakit pada dhobit (hafalan ) yaitu :
a)
Jelek hafalannya
b)
Lalai
c)
Banyak
d)
Menyelisihi yang tsiqat
e)
Ucapan yang menipu
C.
Sanad-Sanad Shahih dan Dhaif
1.
Sanad-sanad shahih[15][15]
a) Aj-Juhri
dari salim dari ayahnya (umar bin khatab)
b) Ibnu
Sirin dari abidah dari ‘ali bin abi thalib
c) Al-A’masy
dari Ibrahim dari alqomah dari abdillah bin mas’ud.
d) Aj-Juhri
dari ‘ali bin Husain dari ayahnya dari ali bin abi thalib
e) Malik
dari nafi’ dari ibnu umar
2.
Sanad-sanad dhoif[16][16]
a)
Sanad yang dinisbatkan kepada Abu
bakar As-Shiddiq yaitu Ibnu musa ad-daqiqi dari farqid as-subkhi dari marrah
ath-thaibi dari abu bakar
b)
Sanad orang-orang syam yaitu
Muhammad bin qaisyin al-mashlubi dari ubaidillah bin jahri dari ‘ali bin yazid
dari qasim dari abi umamata.
c)
Sanad yang dinisbatkan kepada ibnu
‘abbas yaitu assudi ash-shaghiri Muhammad bin marwan dari kalbi dari abi shalih
dari ibnu abbas. Menurut ibnu hajar bahwa ini adalah silsilah dusta.
D.
Tingkatan-tingkatan Shahih
Muncul sebuah persoalan siapakah diantara para semua
mukharrij hadits seperti bukhari, muslim, ahmad, tirmidzi dan yang lainnya yang
dikatakan paling shahih? Maka dalam hal ini ada beberapa tingkatan derajat
shahih[17][17] yaitu :
1.
Muttafaq ‘Alaih
2.
Bukhari
3.
Muslim
4.
Periwayatan atas syarat
(rekomendasi) dari bukhari dan muslim
5.
Periwayatan atas syarat
(rekomendasi) dari bukhari
6.
Periwayatan atas syarat
(rekomendasi) dari muslim
7.
Hadits shahih yang bukan atas
pandangan bukhari dan muslim seperti ibnu khuzaimah, ibnu hibban, dan para
mukharrij lainnya.
“Wallahu
‘Alam Bish-Shawab”
PENUTUP
Kesimpulan
Derajat suatu hadits itu memiliki
beberapa kemungkinan, bisa saja kita katakan shahih, hasan, ataupun dhaif itu
tergantung kepada 2 hal yaitu keadaan sanadnya dan keadaan perawinya. Akan
tetapi oleh para ulama telah diberikan kemudahan bagi para peneliti hadits
untuk mengetahui derajat hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits seperti yang
paling terkenal adalah kitab “tahzibul kamal fi asmaail rijal” yang menerangkan
tentang keadaan perawinya, apakah dia itu pendusta, bid’ah, fasiq dan yang
lainnya. Akan tetapi semua ulama telah sepakat tentang keshahihan hadits yang
dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim sehingga kita tidak perlu lagi
untuk meneliti atas kedaan sanad dan perawinya akan tetapi yang mesti ingat
hadits-hadits selain dari imam bukhari dan imam muslim mesti kita telaah kembali
akan keshahihannya. Wallahu ‘alam bish-shawab.
DAFTAR PUSTAKA
1. A. Zakaria,(2007), Al-Hidayah jilid 1,Garut: Ibnu
Azka Press.
2.
Atabik Ali, dkk, (2003),Kamus
al-Ashri Arab-Indonesia,Yogyakarta: Multi Karya Grafika.
3.
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawir
Arab-Indonesia,Yogyakarta: Penerbit Pustaka Progressif. Edisi Kedua.
4.
Dr. Muhammad Thahan(t.t), taisiru
fi ulumil al-haditsi,Beirut: Darul Fiqr.
5.
Dr. Nuruddin
‘atr,(1997), Manhajul an-Naqdi Fi Ulumil Hadit,Beirut :Darul-fiqr
( Muallaq
merupakan salah satu penyebab dhoif. Muallaq adalah apa yang dibuang dari
permulaan sanad baik satu rawi atau lebih secara berurutan. Dr. Muh.Thohan,
Taisiru Mustholahil Hadits,Beirut:Darul Fiqr, Hal:62
Dr.
Muh.Thohan,
Taisiru Mustholahil Hadits,Beirut:Darul Fiqr, Hal:62
A.Zakaria,(2007),
Al-Hidayah (Jilid 1),Garut : Ibnu Azka Press. Hal:
9-10
A.W.Munawir,
Kamus al-munawir arab-indonesia,Yogyakarta:Pustaka
Progresif.hal:241.
Dr. Nuruddin ‘atr,(1997), Manhajul
an-Naqdi Fi Ulumil Hadit,Beirut :Darul-fiqr. Hal26
D
r.Muhammad Thohan,
Taisiru fi ulumil hadits,beirut:darul Fiqr.
Hal:27.
A.W.Munawir,Op.Cit.hal:764
D r.Muhammad Thohan,
Op.Cit,Hal: 30
Hadits Hasan Lidzatihi adalah hadits yang mempunyai semua syarat hadits
shahih akan tetapi memiliki hafalan yang kurang.
Dr. Muhammad Thahan,
Op.Cit.Hal:42