Pensyarahan, penghimpunan, pentakhiran, dan pembahasan Hadis (Abad 7 H s/d sekarang)
A. Pensyarahan, pentakhiran, dan pembahasan Hadis (Abad 7 H s/d
sekarang)
1. Kegiatan periwayatan
hadis
Berawal dari penaklukan yang
dilakukan oleh tentara Tartar terhadap pemerintahan Abbasiyah yang kemudian
dihidupkan kembali oleh dinasti Mamluk setelah berhasil menaklukkan bangsa
mongol. Akan tetapi Dinasti Mamluk mempunyai maksud tertentu dengan membai'at khalifah.
Hanyalah sekedar simbul agar daerah-daerah Islam lain mau mengakui daerah Mesir
sebagai pusat pemerintahan Islam yang akhirnya umat akan tunduk kepada Mesir
sebagai pemerintahan Islam, setelah itu lahirlah pengakuan pada Dinasti Mamluk
sebagai penguasa dunia Islam. Setelah masa berlalu, kekuasaan Dinasti Mamluk
sudah mulai surut, masuklah abad ke-8 H, Usman Kajuk mendirikan kerajaan di
Turki atas peninggalan Bani Saljuk di Asia Tengah sambil menaklukkan
kerajaan-kerajaan kecil yang ada disekirnya dan selanjutnya membangun Daulah
Utsmaniah yang berpusat di Turki. Setelah menaklukkan Konstantinopel dan
Mesir (runtuhnya Khalifah Abbasiyah), maka berpindahlah pusat kekuasaan
Islam ke Konstantinopel pada abad ke-13 H, Mesir yang dipimpin oleh
Muhammad Ali mulai bangkit untuk mengembalikan kejayaan Mesir masa silam. Namun
Eropa bertambah kuat menguasai dunia, secara bertahap mereka mulai menguasai
daerah-daerah Islam, sehingga pada abad ke-19 M sampai abad ke-20 M hampir
seluruh wilayah Islam dijajah oleh bangsa Eropa. Kembangkitan kembali umat Islam baru dimulai pada
pertengahan abad ke-20 M.
Sejalan
dengan kondisi Islam di atas, maka periwayatan Hadis pada periode ini lebih
banyak dilakukan dengan cara ijazahi dan mukatabah.[1]
Sedikit sekali dari ulama Hadis pada periode ini melakukan periwayatan Hadis
secara hafalan sebagaimana yang dilakukan oleh ulama Mutakaddimin, di
antaranya:
1. Al-'Iraqi (w. 806 H/ 1404 M). Dia berhasil mendektekan
Hadis secara hafalan kepada 400 majelis sejak tahun 796 H / 1394 M, serta
menulis beberapa kitab Hadis.
2. Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H / 1448 M), seorang
penghafal Hadis yang tiada tandingannya pada masanya. Ia
telah mendektekan Hadis kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab yang
berkaitan dengan Hadis.
3. Al-Sakhawi
(w. 902 H / 1497 M), ia merupakan murid Ibnu Hajar, yang telah mendektekan
Hadis kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab.[2]
Pada masa ini, para ulama Hadis
pada umumnya mempelajari kitab-kitab Hadis yang sudah ada dan selanjutnya
mengembangkannya dan meringkasnya sehingga menghasilkan jenis-jenis karya
seperti kitab Syarah, Mukhtashar, Zawa'id, Takhrij dan lain sebagainya.
Tentunya tidak terlepas dari pengkaji Hadis pada saat sekarang, selain mengkaji
Matan (isi) hadis tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan dan bacaan
pada generasi baru dan tidak hanya menerima bahwa Hadis tersebut shahih
atau tidak shahih. Akan tetapi kita telah mendapatkan suatu pengetahuan
dasar untuk mencari dan memastikan sebab musabab Hadis tersebut beroperasi,
yang tentunya tidak terlepas dari perjalanan menyelamatkan Hadis dari
orang-orang yang ingin menyelewengkannya.
Dalam hal ini kita tidak terlepas
dari ilmu Tarikhi'r-Ruwah yang membicarakan hal ihwal para rawi
Hadis baik yang bersangkutan dengan umur dan tanggal kapan mereka dilahirkan,
dimana domisili mereka dan kapan mereka menerima Hadis dari guru-guru mereka.[3]
2. Bentuk penyusunan kitab Hadis
Pada periode ini, umumnya para
ulama hadis mempelajari kitab-kitab Hadis yang telah ada, kemudian
mengembangkan dan meringkaskannya sehingga menjadi sebuah karya sebagai berikut:
a. Kitab
Syarah. Yaitu kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan Hadis
dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari
Alquran, Hadis, ataupun kaidah-kaidah syara’ lainnya.[4]
Di antara contohnya adalah:
1. Fath
al-Bari, oleh Ibn Hajar al-asqalani, yaitu syarah kitab Shahih
al-Bukhari.
2. Al-Minhaj,
qleh
al-Nawawi, yang mensyarahkan kitab Shahih Muslim.
3. ‘Aun
al-Ma’bud, oleh Syams al-Haq al-Azhim al-Abadi,
syarah sunan Abu Dawud.
b. Kitab Mukhtashar.
Yaitu kitab yang berisi ringkasan dari suatu kitab Hadis, seperti Mukhtashar
Shahih muslim, oleh Muhammad fu’ad abd al-Baqi.
c. Kitab Zawa’id. Yaitu kitab
yang menghimpun Hadis-hadis dari kitab-kitab tertentu yang tidak dimuat kitab
tertentu lainnya. Di antara contohnya adalah Zawa’id al-sunan al-Kubra,
oleh al-Bushiri, yang memuat hadis-hadis riwayat al-Baihaqi yang tidak termuat
dalam al-Kutub al-Sittah.
d. Kitab petunjuk (kode indeks) Hadis.
Yaitu, kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis yang mempermudah mencari matan
Hadis pada kitab-kitab tertentu. Contohnya, Miftah Kunuz al-Sunnah,
oleh A.J. Wensinck, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh M. Fu’ad ‘Abd
al-Baqi.
e. Kitab Takhrij. Yaitu kitab
yang menjelaskan tempat-tempat pengambilan Hadis-hadis yang memuat dalam kitab
tertentu dan menjelaskan kualitasnya. Contohnya adalah, Takhrij Ahadits
al-Ihya’, oleh Al-‘Iraqi. Kitab ini men-takhrij Hadis-hadis yang
terdapat di dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali.
f. Kitab Jami’.
Yaitu kitab yang menghimpun Hadis-hadis dari berbagai kitab Hadis tertentu,
seperti al-Lu’lu’ wa al-Marjan, karya Muhammad fu’ad al-Baqi. Kitab ini
menghimpun Hadis-hadis Bukhari dan Muslim.
g. Kitab yang membahas masalah
tertentu, seperti masalah hukum. Contohnya, Bulugh al-Maram min Adillah
al-Hakam, oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani dan koleksi Hadis-hadis Hukum
oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.[5]
Dengan adanya
karya-karya besar para ahli Hadis tersebut, maka dapatlah mempermudah generasi
sekarang ini dalam mempelajari serta mentelusuri Hadis-hadis yang ada sekarang,
sehingga dapat mengetahui kualitas Hadis-hadis tersebut, dan menghindarkan diri
dari pengamalan Hadis-hadis yang daif.
B. Kesimpulan
Pengumpulan Hadis secara resmi
telah dimulai sejak Khalifah Umar ibn Abdul Aziz, yaitu awal abad ke 2, hal ini
dilakukan dalam rangka melestarikan Hadis agar Hadis tersebut tidak hilang
bersama penghafal Hadis, di samping itu merupakan tuntutan kondisi umat Islam
semakin banyak dan wilayahnya semakin luas, sehingga diperlukan suatu rujukan
hukum berupa Hadis setelah Alquran.
Sesudah itu, penulisan dan
pembukuan hadis melewati beberapa proses yang semuanya bertujuan mencapai
kesempurnaan dan penjagaan atas keaslian hadis-hadis tersebut.
Dalam pemilahan hadis yang shahih
dan yang palsu, kiranya kita harus melihat sanad dan matannya,
dan yang terlebih lagi hadis tersebut tidak mempunyai pertentangan dan tidak
menjadi kepentingan politik golongan tertentu pada masa silam sehingga riskan
dengan pemalsuan.
DAFTAR PUSTAKA
Azami,
M.M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994.
Hasan,
Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta:
Kalam Mulia, 2003.
Ismail, Shubudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung:
Angkasa, 1991.
Nata,
Abuddin. Alquran dan Hadis. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1996.
Qathtan,
Manna’. Mabahis Fi Ulumil Hadis, terj. Mifdhol Abdurrahman, Pengantar
Studi Ilmu Hadis. Jakarta:
Al-Kausar, 2005.
Qindil,
Mun'im. Kehidupan orang-orang Shaleh. Semarang:
Asy Syifa'.
Rahman,
Farhur. Ikhtishar Mushthalul Hadis. Bandung:
Alma'arif, 1974.
Shalih,
Shubhi. ‘Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh. Libanon: Dar
al-‘Ilm
al-Malayin, 1977.
Shiddieqy,
M. Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadis. Jakarta:
Bulan Bintang, 1988.
Yuslem,
Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta:
Mutiara Sumber Widya, 2001.
[1] Ijazah
adalah pemberian izin dari seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan
Hadis-hadis yang berasal dari guru tersebut, baik yang tertulis maupun yang
berupa hafalan. Sedangkan mukatabah
adalah pemberian catatan Hadis dari seorang guru kepada orang lain (muridnya),
baik catatan tersebut ditulis oleh guru itu sendiri ataupun yang didektekan
kepada muridnya. Lihat Nawir Yuslem, Ulumul Hadis…. h. 143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar