Pengertian Hadis Shahih dan kriterianya
Pengertian Hadis Shahih dan kriterianya.
Seperti diketahui, hadis bila ditinjau dari segi
kualitasnya terbagi kedalam tiga kategori: Shahih, hasan, dan dhaif. Kata Shahih
dari segi Bahasa adalah lawan ari sakit, sedangkan Hadis Shahih sendiri dari
segi terminology bermacam-macam ulama menta’rifkannya diantaranya :
Ta’rif Ibn ‘Alwi al-Maliki al-Hasani :
-------------------------------------------
“Hadis yang bersambung sanadnya yang diperoleh dari
perawi yang adil, yang dhabit, yang diterimanya dari perawi yang sama
(kualitasnya) tidak tergolong syadz dan tidak pula ber-I’lat lagi tercela maka
semua hal tersebut merupakan syarat-syarat Hadis Shahih.[1]
Sementara Abu Amr ibn ash-Shalah menta’rifkannya dengan
:
-------------------------------------------
Hadis Shahih adalah
musnad yang sanadnya muttashil melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit
dari orang yang adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak
mu’allal (terkena ‘illat).[2]
Ta’rif Imam Nawawiy, Imam Nawawiy meringkas defenisi ibn
Ash-Shalah;
------------------------------------------
Hadis Shahih adalah hadis yang muttashil sanadnya
melalui periwayatan orang-orang yang adil lagi dhabit tanpa syadz dan ‘illat.
Fatchur Rahman lebih singkat lagi menta’rifkannya dengan
:
------------------------------------------------
“Hadis yang
dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak syadz.[3]
Dari beberapa ta’rif hadis Shahih diatas sepertinya
secara esensial mempunyai maksud yang sama hanya saja pada ta’rif Hadis Shahih
tersebut adalah sekaligus menjadi syarat (kriteria) Hadis Shahih, bila dilihat
secara teliti dari ta’rif tersebut ternyata ada lima kriteria yang bisa
diperpegangi untuk melihat sesuatu hadis itu apakah dapat dikatakan hadis Shahih
atau tidak dan kelima kriteria tersebut adalah :
a.
Sanadnya tidak terputus (muttashil).
b.
Perawinya bersifat adil.
c.
Sempurna ingatan (dhabit)
d.
Tidak Syadz (janggal)
e.
Hadis itu tidak ber’illat
(cacat).[4]
Adapun secara lebih rinci kriteria-kriteria yang di
utarakan ulama-ulama di atas adalah dapat diterangkan sebagai berikut :
- Sanad Hadis tersebut harus bersambung. Maksudnya adalah bahwa setiap perawi menerima hadis secara langsung dari perawi yang berada diatasnya, dari awal sanad sampai kepada akhir sanad, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad saw sebagi sumber hadis tersebut. Hadis-hadis yang tidak bersambung sanadnya, tidak dapat disebut Hadis Shahih, yaitu seperti Hadis Munqathi’, Mu’dhal, Mu’allaq, Mudallas dan lainnya yang sanad-nya tidak bersambung.[5]
- Perawinya adalah adil.[6] Setiap perawi Hadis tersebut harus bersifat adil. Yang dimaksud adil disini adalah bahwa semua perawi harus Islam, baligh juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.
Senantiasa melakukan segala
perintah agama dan meninggalkan semua larangnannya.
2.
senantiasa menjauhi
perbuatan-perbuatan dosa keci; dan
3.
senantiasa memelihara ucapan
dan perbuatan yang dapat menodai muru’ah.[7]
- Perawinya adalah dhobith, artinya perawi hadis tersebut memilki ketelitian dalam menerima hadis, memahami apa yang didengar, serta mampu mengingat, dan menghafalnya sejak ia menearaima Hadis tersebut sampai pada ia meriwayatkannya. Atau ia mampu memelihara haditsyang ada di dalam catatannya dari kekeliruan,atau dari terjadinya pertukaran, pengurangan, dan sebagainya, yang dapat merubah hadis tersebut. Kedhabith-an seorang perawi, dengan demikian, dapat dibagi dua, yaitu : dhobit shodran ( kekuatan ingatan atau hafalannya) dan dhobit kitaban (kerapian dan ketelitian tulisan atau catatannya)[8]
- Bahwa Hadis tersebut tidak syaz, maksud syadz atau syuzuz (jamak dari syaz) disini, adalah suatu Hadis yang bertentangan dengan Hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih kuat (istiqod), ini pengertian yang diperpegangii oleh Syafi’i dan kebanyakan ulama lainnya. Melihat pengertian tersebut dapat dipahami tidak syaz (ghoiru syaz) adalah Hadis yang matannya tidak bertentangan deengan Hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqoh. Al-hakim Naisaburi memasukkan Hadis Fard (Hadis yang diriwayatkan oleh seorang Perawi yang tsiqoh, tetapi tidak ada perawi lain yang meriwayatkannya), kedalam kelompok Hadis Syaz pendapat ini tidak dipegang oleh jumhur ulama ahli Hadis.[9]
- Kata ber’illat (ghoiru Mua’llal), kata ‘illat bentuk jamaknya adalah ‘illal atau al’illal, menurut bahasa artinya cacat, penyakit, keburukan dan kesalahan baca. Dengan pengertian hadis yang ber’illat adalah hadis-hadis yang cacat atau penyakit. Maksud ‘illat disini adalah berarti suatu sebab yang tersembunyi atau samara-samar. Maksudnya adalah jika dilihat secara zohir hadis tersebut kelihatan Shohih, tetapi sebenarnya hadis tersebut menyimpan kesamaan atau keragu-raguan.[10]
2. Tingkatan Hadis Shohih dan Macam-Macamnya.
Ulama berusaha keras mengkomparasi antar perawi-perawi
yang maqbul dan mengetahui sanad-sanad yang memuat derajat diterima secara
maksimal karena perawi-perawinya terdiri dari orang-orang terkenal dengnan
keilmuan, kedhobitan dan keadilannya dengan yang lainnya. Mereka menilai baha
sebagian sanad shohih merupakan tingkat tertinggi daripada sanad-sanad lainnya
karena memenuhi sarat-syarat qobul secara maksimal dan kesempurnaan para
perawinya dalam hal kriteria-kriterianya. Mereka kemudian menyebutnya Ashahul
Asanid.[11]
Terhadap pembagian Ashahul Asanid[12]
ini pun berbeda ulama dalam membaginya. Ajjaj al-Khotib mengatakan berdasarkan
martabat yang disinggung diatas, para muhaddisin membagi tingkatan sanad, yaitu
;
a.
Ashhohul Asanid, yakni rangkain sanad yang paling tinggi derajatnya. Para ulama hadis berbeda pendapat dalam menentukan
peringkat pertama, sebagian ulama ada yang menetapkan “Hadis yang diriwayatkan
Ibnu Shihab al-Zuhri dari Salim bin Abdillah bin Umar dari ibnu Umar” sebagian
yang lain menetapkan Hadis yang diriwayatkan Sulaiman al-A‘masyi dari Ibrahim
an-Nakhai dari al-Qomah bin Qaois dari Abdillah bin Mas’ud. Imam bukhori dan
bebrapa ulama lainnya menetapkan pada Hadis yang diriwayatkan Imam malik dari
Anas dari Nafi Maula Ibnu Umar dari Ibnu Umar.
b.
Ahsanul al-Asanid. Yakni rangkaian sanad yang tingkatannya dibawah tingkat pertama
diatas, seperti hadis yang diriwayatkan Hamad bin Salmah dari Tsabit dari Anas.
c.
Ad’aful al-Asanid yakni rangkaian sanad Hadis yang tingkatannya lebih rendah dari
tingkatan kedua, seperti hadis riwayat Suhail bin Abi Salih dari bapaknya dari
Abu Hurairah.[13]
Adapula sebgaian Ulama hadis yang membagi Hadis
berdasarkan kepada kriteria yang diperpegangi oleh para mukhoriz (perawinya
yang terakhir membukukannya) Hadis Shahih yaitu kepada tujuh tingkatan :
- Hadis yang disepaki bukhori dan Muslim.
- Hadis yang diriwayatkan Bukhori saja.
- Hadis yang diriwatkan muslim saja
- Hadis yang diriwayatkan sesuai dengan persyaratan Bukhori dan Muslim.
- Hadis yang diriwayatkan menurut peersyaratan Bukhori.
- Hadis yang diriwayatkan menurut persyaratan Muslim.
- Tingkatan selanjutnya adalah Hadis Shahih. Menurut Imam-Imam Hadis lainnya yang tidak mengikuti syarat bukhori dan muslim seperti, Khuzaimah dan Ibnu Hibban.[14]
Sementara mengenai macam-macam Hadis Shahih, pada
umumnya para Muhaddisin membaginya kepada dua macam, yaitu : Hadis Shahih li
Zatihi dan Hadis Shahih lighoirihi, dan pembagian Hadis ini berdasarkan
perbedaan dari segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada Hadis Shahih lizatihi
ingatan perawinya sempurna sementara pada Hadis Shahih Lighoiirihi kurang
sempurna.
Adapun yang dimaksud dengan Hadis Shahih Lizatihi
menurut al-Hasani adalah Hadis yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria
keshohihannya sebagai Hadis yang maqbul, sebagaimana dijelaskan diatas,
dan tidak memerlukan Hadis yang lainnya.[15]
Sedangkan Hadis Shahih Lighoiirihi adalah Hadis yang
tidak memenuhi sifat Hadis maqbul secara sempurna, yaitu Hadis yang asalnya
bukan Hadis Shahih, akan tetapi derajatnya naik menjadi Hadis Shahih lantaran
ada faktor pendukung yang dapat menutupi kekurangan yang ada padanya.[16]
Sementara contoh Hadis ini adalah Hadis tentang bersiwak yang sanadnya Muhammad
Ibnu Amrin dari Abu Salamah dari Abu Hurairah lalu diriwayatkan oleh Tarmizi,
tetapi Hadis ini juga diriwayatkan oleh bukhori dan Muslim, sementara sanad
Muhammad Ibnu Amrin Ibnu al-Qomah adalah dikenal dengan sifat as-Shidqi dan
al-Syiyanah tetapi kuang kuat hafalannya.[17]
3. Hukum dan Status Kehujjahan Hadis Shohih.
Para ahli Hadis dan sebagian ulama ahli Ushul serta ahli fiqh sepakat
menjadikan Hadis-Hadis Shahih sebagai hujjah (dasar pedoman) yang wajib beramal
dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan
penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan
akidah oleh karenanya tidak ada alasan bagi setiap muslim untuk
meninggalkannya.[18]
4. Kitab-Kitab Hadis Shahih.
Kodifikasi Hadis pada abad kedua Hijriyah adalah awal
dari munculnya berbedanya ulama melihat Hadis baik dari segi kuantitas (jumlah)
maupun dari sisi kwalitas (kekuatan dan keabsahannya) suatu Hadis. Maka banyak
pula karya-karya muhaddisin yang awal adalah muwattha’ Imam Malik, hanya
saja beliau tidak mengkhususkan pada Hadis-Hadis Shahih saja, tetapi juga Hadis
Mursal, Munqoti dan ungkapan-ungkapan hikmah. Kemudian sampailah kepada bukhoi
dan Muslim serta Muhaddisin lainnya.[19]
Adapun kitab yang pertama kali secara khusus membahs
mengenai Hadis-Hadis Shahih yaitu : Shohih Bukhori (194-256 H) kemudian disusul
dengan Shohih Muslim (204-261 H), Sunan Abu Daud (202 – 275 Hadis), Sunan
at-Tarmizi (209 – 279 H), Sunan al-Nasai (215-313 H), Sunan Ibnu Majah (209 –
273 H).
[1] Muhammad ‘Alwi al-Maliki al-Hasani, al-Minhal al-Lathifu fi
Ushuli al-Hadis Tahrif (taba’ bi Tasrih Wizarah al-A’lam, 1410 H), hal. 58.
[2] M. Ajjaj al-Khatib, Ushulul Hadis, Pokok-Pokok Ilmu Hadis,
Judul asli : Ushul al-Hadis diterjemahh oleh: M.Qadirun Nur, Ahmad Musyafiq
(Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), hal. 276.
[3] Fatchur Rahman, Ikhtishar Mustholah Hadis (Bandung : PT
al-Ma’arif, 1974), hal. 117.
[4] Ibnu Shalah berpendapat, bahwa syarat hadis diatas, telahh
disepakati oleh para muhaddisin. Hanya saja kalaupun mereka berselisih tentang
keshahihan hadis, bukanlah karena syarat-syarat itu sendiri, melainkan karena
adanya perselisihan terwujud atau tidaknya sifat-sifat tersebut, atau karena
adanya perselisihan dalam mensyaratkan sebagian sifat-sifat tersebut. Misalnya Abi
Zinad mensyaratkan peraawinya mempunyai ketenaran, Ibnu as-Sam’ani Hadis Shahih
cukup diriwayatkan oleh Rawi yang tsiqoh (adil dan dhobith) saja tetapi harus
paham benar apa yang diriwayatkannya, banyak hadis yang telah didengarnya, kuat
ingatannya. Abu Hanifah mnsyaratkan, peerawinya haruspaham benar, Ibnu hajar
tidak sependapat dengan ulama-ulama diatas karena syarat-syarat yang
dikemukakan Abi Zinad sudah tercakup dalam dhobith, sedang sarat-syarat Ibnu
as-Sam’ani sudah termasuk dalam syarat “tidak ber’illat”, sementara jumhur Muhaddisin, bahwa suatu hadis dinilai
shohih, bukanlah tergantung pada banyaknya sanad, namun kalau sanadnya atau
matannya shohih, kendatipun rawinya itu hanya satu orang saja pada tiap-tiap
thobaqat. Ibid.
[5] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta : PT Mutiara Sumber
Widya, 1997), hal. 220.
[6] Maududi yang sering disebut ppendukung hadis, mengungkapkan contoh
yang mungkin paling mengejutkan sebagaimana yang dikutipnya dari penentang
hadis. Ibnu Ummar menyebut Abu Hurairah pembohong; Aisyah mengkritik Anas
karena menyampaikan Hadis, padahal Anas masih anak-anak ketika Rasulullah saw
masih hidup; Hasan Ibnu Ali menyebut Ibnu Umar dan Ibnu Zubair pembohong. Jelas
makdu Maududi bukanlah untuk mndiskreditkan literature hadis secara keseluruhan.
Dia hanya ingin menyebutkan alasan perlu bagi mengkaji ulang literature hadis.
Abu al’Ala al-Mududi, hadis aw al-Qur’an (taphimat : Tarjuman al-Qur’an, 1934),
hal. 318-349, lihat juga pada Daniel W. Brown, Relevansi Islamdalam Sunnah
Modern, judul asli : Rethingking Tradition in Modern Islamic Thought,
diterjemahkan oleh : Jaziar Radianti dan Estin Sriyani Muslim (Bandung : Mizan, 2000) h. 114.
[7] Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1993)
hal. 113.
[8] Yuslem, h. 221.
[9] Suparta dan Ranuwijaya, h. 115.
[10] Ibid.
[11] Al-Khatib, h. 227-278.
[12] Kritikus Hadis lebih memilih sebutan Hadis shohihul isnad dari pada
sebutan Hadis Shahih, karena khawatir hadisnya syadz atau mu’allal, sehingga
yang shohih hanyalah sanadnya. Dalam kondisi seperti ini tidak ada kelaziman
hubungan antara keshohihan dan keshohihan matan. Syaikhul islam Ibn Hajar
mengatakan yang tidak layak lagi adalah bahwa sorang Imam diantara mereka tidak
beralih dari sebutan shohih kesebutan shohihul isnad kecuali karena alasan
tertentu. Namun, bila yang menyatakan sebutan itu adalah perawi yang hafiz lagi
bisa dipercaya, tanpa menyebut ‘illat kodihah terhadap hadis yang
bersangkutan,maka jelas menunjukkan keshohihan matan pula. Lihat M. Azaz
al-Khotib, hal. 278-279.
[13] Sunarta dan Ranuwijaya, hal. 118.
[14] Yuslem, hal. 225.
[15] Ibid.
[16] Muhammad Alwi al-Maliki al-Hasani, hal. 69, lihat juga pada Suparta
dan Ranuwijaya hal 117.
[17] Lihat Yuslem, hal. 226.
[18] Abu Isa Muhammad bin Isa at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi Wali Songo
Huwa al-Jami’ as-Shohih (Beirut, Dar al-Fikr, 1400 H / 1980) h. 6.
[19] Al-Khatibi, hal. 279.
Hukum Menggunakan Hadis Dha’if
Hukum Menggunakan Hadis
Dha’if
Ada tiga pendapat ulama
dalam tentang pengamalan dan penggunaan Hadis Dha’if :
- Hadis Dha’if tidak diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail maupun ahkam dan ini merupakan pendapat kebanyakan ulama termasuk Imam Bukhari dan Muslim.
- Hadis Dha’if bisa diamalkan secara mutlak, ini merupakan pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad yang lebih mengutamakan Hadis Dha’if dibandingkan ra’yu seseorang.
- Hadis Dha’if dapat digunakan dalam masalah fadhail mawa’iz atau sejenis dengan memenuhi kriteria yang ada. Ibnu Hajar membaginya kepada kriteria yaitu : :
-
kedhaifannyaa
tidak terlalu
-
Hadis
Dha’if yang termasuk cakupan Hadis pokok yang bisa diamalkan.
-
Ketika
mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat tapi sekedar hati-hati.[1].
E. Penutup
Hadis Dha’if
adalah Hadis yang tidak mencukupi syarat Shahih maupun hasan baik dari segi
sanad dan matannya, maka kekuatannya lebih rendah disbanding dengan Hadis
Shahih dan Hadis Hasan.
Cacat yang
menyebabkan sebuah hadis menjadi dha’if terbagi kepada dua macam yakni:
a. terputusnya antara satu
perawi dengan perawi lainnya dalam satu sanad Hadis tersebut, yang seharusnya
bersambung.
b. terdapat cacat pada diri
seoang perawi atau matan dari Hadis tersebut.
Hadis dhaif terbagi
beberapa macam yakni:
Hadis Mursal
Hadis Munqati’
Hadis Mudallas
Hadis Mu’addhal
Hadis Mu’allaq
Hadis Mudha’af.
Hadis Matruk
Hadis Munkar.
Hadis Mu’allal
Hadis Mudraj.
Hadis Maqlub
Hadis Mudhtharib
Hadis Mushahaf
Hadis
Syaz
DAFTAR
PUSTAKA
AJuri, Syeikh
Atiyah, Mustholahul Hadis. Jeddah : Haramain, tt.
Balig,
Izzudin, Minhaj as-Sholihin min al-Hadis Wali Songo as-Sunh Khatim
al-Anbiyaa’ Wali Songo Mursalin. Beirut
: Daar Pikr, tt.
Kasir, Al-Imam
Ibnu, al-Baits al-Hadis Syarh Ikhtisar Ulum al-Hadis. Beirut : daar al-Pikr, tt.
Khatib,
M. Ajjaj, Ushulul Hadis, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Judul asli : Ushul
al-Hadis , diterjemahkan oleh: M.Qadirun Nur, Ahmad Musyafiq. Jakarta : Gaya
Media Pratama, 1998.
Mas’udi,
Hafiz Hasan, Minhatu al-Mughits pil Mustholahul Hadis. Surabaya: Ahmad Nabni, tt.
Rahman,
Fathur, Ikhisar Musthalahul Hadis. Bandung
: Al-Ma’arif, 1991.
Yuslem,
Nawir, Ulumul Hadis. Jakarta
: PT Mutiara Sumber Widya, 1997.
[1] .Ajjaj al-Khatib, Ushulul Hadis, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Judul asli : Ushul al-Hadis diterjemahkan oleh: M.Qadirun Nur, Ahmad Musyafiq (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), hal. 315-316
Tidak ada komentar:
Posting Komentar